Monday, September 15, 2025

Misteri Desa Terapung Muslim Ko Panyi di Thailand yang Didirikan Orang Jawa 200 Tahun Silam

Empat Lawang UKN

Di Teluk Phang Nga, Thailand selatan, berdiri sebuah desa unik. Dari kejauhan tampak rumah-rumah kayu berjejer rapi di atas laut, ditopang tiang pancang. Suara azan menggema dari masjid yang juga berdiri di atas air. Desa ini bernama Ko Panyi (Koh Panyee). Yang membuatnya istimewa adalah seluruh penduduknya Muslim, dan leluhur mereka berasal dari Jawa, Indonesia.

Baca Juga  yaitu

1.    Penyuluh Antikorupsi Sumsel Akhirnya dikumpulkan di Inspektorat provinsi. Inilah yang Terjadi di Balik Layar Rapat Perdana Paksi AMPERA"

2.    Inilah Nama-NamaMenteri Baru yang dilantik pada 8 September 2025

3.    Menguak MisteriFacebook Pro, Mengapa Kreator Pemula Gagal, Sementara Para Suhu Justru Berjaya?

4.    Mantan Ketua KONILahat Terseret Korupsi Dana Hibah Rp287 Juta, Ditangkap di Hari Jadi Kejaksaan

5.    Ijazah SMA GibranDigugat ke Pengadilan, Benarkah Wakil Presiden Tak Punya Ijazah Indonesia?

6.    Nadiem Makarim Resmi Jadi Tersangka Korupsi Chromebook, Dari Ruang Menteri ke Meja Hijau

Asal mula Ko Panyi bermula akhir abad ke-18, ketika tiga keluarga nelayan Muslim dari Jawa mengarungi Laut Andaman. Ada yang bilang mereka merantau karena tekanan kolonial Belanda, ada pula yang menyebut terdampar karena badai. Saat itu, hukum di Thailand melarang orang asing memiliki tanah. Maka, mereka cerdik membangun rumah panggung di atas laut dangkal. Dari langkah sederhana ini, lahirlah sebuah komunitas unik yang kini berusia hampir 200 tahun.

Pulau Bendera”: Dari Panji ke Panyi. Legenda setempat menyebut, para pendiri menancapkan bendera di puncak bukit kapur sebagai penanda lokasi bagi sesama perantau. Dari situlah nama Panyi lahir berarti “bendera.”

Dalam lidah Jawa dan Melayu, mereka menyebutnya Pulo Panji. Orang Thai kemudian menyebutnya Ko Panyi atau Pulau Bendera. Nama itu bertahan hingga kini.

Masjid Sebagai Jantung Kehidupan. Islam adalah napas Ko Panyi. Masjid pertama dibangun dari kayu, lalu diperkuat seiring bertambahnya populasi. Kini Masjid Ko Panyi menjadi pusat ibadah, pendidikan, hingga musyawarah warga.

Setiap kali azan berkumandang, seluruh aktivitas berhenti. Nelayan pulang, pedagang menutup toko, anak-anak berlarian ke masjid. Tradisi keislaman tetap dijaga meski mereka hidup di tengah mayoritas Buddha.

Asimilasi Budaya: Jejak Jawa yang Tak Hilang. Di masa lalu, bahasa Jawa digunakan sehari-hari. Kini hanya tersisa di bibir generasi tua, sementara anak muda fasih berbahasa Thai. Namun, beberapa kata seperti mangan (makan) atau turu (tidur) masih dimengerti.

Kuliner pun jadi saksi asimilasi, nasi berbumbu rempah khas Jawa berpadu cita rasa Thai. Nilai gotong royong ala Jawa tetap terasa, mulai dari membangun rumah hingga menyiapkan hajatan besar.

Hidup Menyatu dengan Laut. Rumah-rumah di Ko Panyi berdiri di atas tiang pancang. Jembatan kayu menjadi jalan utama. Anak-anak belajar berenang sebelum berlari, mendayung sampan sebelum naik sepeda.

Mata pencaharian utama adalah melaut dan budidaya ikan. Perempuan mengolah hasil laut, sementara sebagian warga membuka restoran halal, toko suvenir, hingga penginapan kecil untuk wisatawan.

Tahun 1986, anak-anak Ko Panyi membangun lapangan sepak bola dari papan bekas, terapung di laut. Lapangan kecil dan licin itu justru melahirkan keterampilan unik. Klub sepak bola Ko Panyi kemudian menjuarai turnamen provinsi. Lapangan itu kini menjadi ikon desa, dikenal dunia, dan menjadi daya tarik wisata.

Ko Panyi dan Pariwisata Dunia. Wisatawan dari seluruh dunia datang melihat desa ini. Mereka menikmati panorama rumah panggung, masjid, restoran seafood halal, hingga menyaksikan warga beraktivitas. Namun bagi penduduk, pariwisata hanyalah tambahan. “Kami ini nelayan, Muslim, keturunan Jawa. Itu identitas utama kami,” kata seorang tetua desa kepada peneliti.

Tantangan Zaman, Urbanisasi dan Iklim. Generasi muda banyak yang merantau ke kota, meninggalkan desa. Modernisasi membawa budaya luar, kadang mengikis tradisi. Perubahan iklim pun mengancam. Permukaan laut naik, badai makin sering. Warga harus terus memperkuat tiang rumah agar tidak roboh. Mereka khawatir, suatu saat desa bisa hilang ditelan laut.

Ikatan Abadi dengan Indonesia. Meski jauh, Ko Panyi masih merasa terhubung dengan Indonesia. Doa, cerita, dan masakan menjadi pengingat akan tanah leluhur.

Setiap tamu dari Indonesia disambut bak keluarga lama. Peneliti pun sering terharu mendengar orang tua Ko Panyi masih bisa berdoa dengan bahasa Jawa kuno.

Simbol Toleransi di Negeri Buddha. Ko Panyi adalah bukti toleransi. Di tengah masyarakat Buddha, mereka bisa hidup damai tanpa kehilangan jati diri. Desa ini jadi simbol bahwa diaspora bukan berarti tercerabut dari akar.

Sejarah yang Hidup di Atas Air. Saat matahari tenggelam di Teluk Phang Nga, bayangan masjid Ko Panyi terpantul di laut. Anak-anak bermain di lapangan terapung, nelayan menyiapkan jaring. Suara azan kembali menggema.

Ko Panyi bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah sejarah hidup, warisan Jawa yang berdenyut di negeri asing, bukti bahwa iman dan budaya bisa bertahan meski zaman terus berubah. (TIM)
Share:

0 komentar:

Featured Post

Musrenbang RPJMD 2025–2029 di Empat Lawang. Dari Pemukulan Gong hingga Peta Jalan Pembangunan Lima Tahun ke Depan

SEKDIS PENDIDIKAN

KABID SMP DISDIK EMPAT LAWANG

KABID KESMAS

KABID SDA DINAS PUPR 4L

KABAG KESRA EMPAT LAWANG

KABAG UMUM EMPAT LAWANG

KABAG TAPEM

SMAN 1 LK

SMAN 1 SALING

SMAN 1 PENDOPO

SMAN 3 TEBING TINGGI

SMAN 1 MUARA PINANG 4 L

SMKN 1 EMPAT LAWANG

SMKN 2 EMPAT LAWANG

SLBN 4L

SMP N 2 TT

SMPN 5 TB. TINGGI

SDN 1 TALANG PADANG

KADES KARANG ARE TP

KADES KEMBAHANG BARU

KADES ULAK DABUK TP

PJ. KADES MEKAR JAYA TB. TINGGI

SD NEGERI 24 TBG. TINGGI

Cari di web ini

Tag